Anak gemuk sering dianggap lucu dan gemoy. Padahal, kegemukan sejak dini adalah bom waktu, yang bila tidak diintervensi akan berkembang menjadi berbagai penyakit di kemudian hari.

 

Sayangnya, angka obesitas pada anak terus merangkak naik, bahkan saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi perhatian di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), pada 2018, 1 dari 5 anak usia sekolah (20 persen, atau 7,6 juta) dan 1 dari 7 remaja (14,8 persen, atau 3,3 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas.

 

Data ini semakin melengkapi beban masalah gizi menjadi “tiga beban malnutrisi” (TBM), dengan peningkatan dramatis kasus kelebihan berat badan dan obesitas di masyarakat. Dan, jangan salah, obesitas tidak hanya ditemui pada anak-anak keluarga yang secara ekonomi berkecukupan, namun juga datang dari kalangan rumah tangga berpendapatan rendah.

 

Dampak Obesitas di Masa Depan

“Anak gemuk memang lucu tapi ia menyimpan tabungan untuk penyakit metabolik di masa depan, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung,” papar Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, KEMD, PhD, Wakil Menteri Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dalam acara edukasi obesitas anak di Jakarta, yang diselenggarakan oleh Novo Nordisk.

 

Menurut Prof. Dante, obesitas meningkatkan risiko penyakit jantung hingga 5.7 kali lipat dibandingkan yang tidak obesitas. Selain itu, obesitas menyebabkan resistensi insulin dan memicu diabetes, dan juga hipertensi.

 

“Menentukan apakah seseorang obesitas dilihat dari BMI-nya. Jangan lupakan juga obesitas sentral atau lingar perut, di mana perempuan tidak boleh lebih dari 80 cm dan pria tidak lebih dari 90 cm. Pada anak-anak, hati-hati jika obesitas disertai garis hitam di leher atau acanthosis nigricans yang merupakan tanda resistensi insulin,” lanjut dokter subspesialis endokrinologi ini.  

 

Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI, Direktur Eksekutif di  International Pediatric Association, menambahkan, “Obesitas ini mungkin tidak ada gejala tetapi jika dibiarkan dapat terjadi resistensi insulin, kaki jadi O, dan aktivitas fisik terbatas, misalnya naik tangga sesak.”

 

Data di Jakarta menunjukkan, pada anak yang obesitas, 15-16% sudah mengalami resistensi insulin. Jika terjadi pada anak sekolah dasar, maka di SMP ia sudah diabetes.

 

Berlanjut ke masa remaja, anak perempuan yang kelebihan berat badan akan mengalami haid atau pubertas lebih cepat. Dampaknya anak akan pendek karena pada perempuan, tinggi badan hanya bertambah maksimal 10 cm jika sudah haid. Saat dewasa, risiko PCOS meningkat.

 

Cara Mencegah Obesitas pada Anak

Menurut Prof. Dante, masalah ini berawal dari keluarga. Gaya hidup tidak sehat yang dianut di keluarga, pola makan tinggi kalori, menyebabkan orang tua gemuk yang menghasilan anak dengan kelebihan berat badan. “Kasus obesitas ini meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, dari 8% menjadi 21,8%,” jelasnya.

 

Prof. Aman menjelaskan, pencegahan bisa dilakukan dengan rutin melakukan cek antropometri yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, di KIA. “Kalau angkanya naik ke persentil 95 ini namanya obesitas, dan perlu dilakukan intervensi.” 

 

Untuk anak obese, pendekatan dilakukan dengan prinsip 5210, yaitu:

- 5 kali anak makan buah dan sayur setiap harinya

- 2 jam waktu anak untuk menonton televisi maupun mengerjakan pekerjaan rumah, jadi sangat dibatasi.

- 1 jam terpapar sinar matahari dengan aktivitas fisik di luar rumah.

- 0 adalah nol gula atau biasakan konsumsi makanan dan minuman tanpa gula.

 

Bagi anak yang belum terlanjur gemuk, orang tua hatus membiasakan gaya hidup sehat. Sejak bayi lakukan tummy time minimal 30 menit, setelah itu lanjutkan dengan aktivitas bermain, usahakan di luar rumah.

 

Selain itu menerapkan pola makan sehat dengan makanan sehat dan gizi seimbang, membatasi gula dan jangan memberikan makanan tinggi garam sebelum usia 5 tahun.