Kebanyakan orang tentu tidak menyukai makanan atau minuman yang hambar alias tidak terasa apa pun. Karenanya, diperlukan tambahan bahan untuk memberi rasa pada makanan atau minuman. Salah satunya adalah penggunaan gula untuk memberikan rasa manis pada makanan atau minuman.

 

Namun untuk beberapa orang, konsumsi gula yang berlebihan tidaklah disarankan. Misalnya pada pasien-pasien dengan diabetes melitus ataupun yang sedang menjalani diet dan program penurunan berat badan. Hal ini karena gula memiliki kalori yang cukup tinggi.

 

Pada saat inilah pemanis buatan atau artificial sweetener hadir sebagai ‘penyelamat’. Pemanis buatan dapat memberikan rasa manis pada makanan atau minuman, tetapi mengandung kalori yang sangat rendah bahkan tidak mengandung kalori sama sekali.

 

Biasanya, makanan atau minuman yang menggunakan label ‘sugar free’ atau ‘low calorie’ menggunakan pemanis buatan ini sebagai pengganti gula. Jadi, produknya tetap terasa manis meski tanpa ada gula di dalamnya.

 

Ada 6 jenis pemanis buatan yang disetujui penggunaannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia untuk digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP). Keenam pemanis buatan tersebut memiliki profil yang berbeda-beda. Mau tahu apa saja pemanis buatan tersebut? Ini dia ulasannya!

 

Aspartam

Aspartam adalah pemanis non-sakarida yang pertama kali disintesis pada tahun 1965 oleh seorang kimiawan bernama James M. Schlatter. Aspartam memiliki tingkat kemanisan 100 hingga 200 kali gula (sukrosa).

 

Aspartam digunakan secara luas sebagai pengganti gula pada sereal, permen karet, dan berbagai produk olahan pangan lainnya. Aspartam juga beredar dalam bentuk saset sebagai table top sweetener atau gula meja.

 

Aspartam memiliki sifat tidak tahan panas, sehingga tidak dapat digunakan untuk pengganti gula pada makanan yang membutuhkan proses pemanggangan (baking) dan pemasakan di suhu panas.

 

Sejak awal mula kehadirannya, aspartam sudah diterpa berbagai isu mengenai keamanannya untuk kesehatan. Namun, sudah banyak penelitian yang melihat keamanan aspartam bagi kesehatan. Hingga saat ini, aspartam terbukti aman untuk dikonsumsi jika tidak melebihi angka acceptable daily intake-nya.

 

Masalah kesehatan yang perlu diperhatikan untuk penggunaan aspartam adalah pada pasien dengan kondisi phenylketonuria (PKU), suatu penyakit genetik yang jarang terjadi. Pasien PKU memilki kesulitan memetabolisme phenylalanine, struktur kimia yang terdapat dalam aspartam. Jadi, mereka tidak dianjurkan untuk mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung aspartam sebagai pemanis buatan.

 

Acesulfam

Acesulfam atau biasa disebut acesulfame-K adalah pemanis buatan yang memiliki kadar kemanisan hingga 120 kali lebih manis dari gula sukrosa. Berbeda dengan aspartam, acesulfam tahan terhadap suhu panas, sehingga cocok digunakan dalam proses baking dan cooking.

 

Namun, pemanis buatan yang satu ini memiliki kelemahan, yakni ada after taste rasa pahit saat ditelan. Karenanya, acesulfam biasanya digunakan dalam kombinasi dengan sukralosa atau aspartam untuk menutupi efek after taste rasa pahit tersebut.

 

Sukralosa

Pemanis buatan berikutnya yang sering digunakan dalam produk makanan dan minuman adalah sukralosa (sucralose). Sukralosa pertama kali disintesis sekitar tahun 1976 dan memiliki kadar kemanisan 450 hingga 650 kali lebih manis dari gula sukrosa.

 

Sakarin

Dari semua pemanis buatan yang sering digunakan dalam makanan dan minuman, mungkin sakarin (saccharin) adalah yang paling ‘tua’. Ia ditemukan sekitar tahun 1879 di Amerika Serikat.

Sakarin adalah pemanis buatan dengan tingkat kemanisan kurang lebih 300 kali lebih manis daripada sukrosa. Sakarin biasanya tersedia dalam bentuk sodium sakarin. Sakarin sempat menjadi perbincangan dalam beberapa dekade silam.

 

Pasalnya, ada penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan sakarin menimbulkan kanker prostat pada hewan uji tikus. Namun, sejauh ini belum ada bukti efek samping menyebabkan kanker pada manusia jika sakarin dikonsumsi dalam batas acceptable daily intake-nya. Hingga kini, sakarin masih disetujui oleh Badan POM untuk digunakan sebagai pemanis buatan.

 

Siklamat

Pemanis buatan yang satu ini disintesis sekitar tahun 1937. Siklamat (cyclamate) memiliki tingkat kemanisan 30 kali lebih manis dibanding gula sukrosa. Namun seperti halnya acesulfam, siklamat memiliki after taste rasa pahit, yang dapat hilang jika siklamat dikombinasi dengan sakarin.

 

Neotam

Jika sakarin adalah pemanis buatan ‘tertua’, maka neotam (neotame) ini terbilang yang paling 'muda'. Neotam disetujui penggunaannya sebagai pemanis buatan sekitar tahun 2000-an di Amerika Serikat, dan kini juga disetujui penggunaannya di Indonesia. Neotam memiliki kadar kemanisan 7.000 hingga 13.000 lebih manis daripada gula pasir biasa! Wow, super sekali, ya!

 

Gengs, itu dia 6 pemanis buatan yang sering digunakan sebagai bahan tambahan pangan (BTP) pada produk makanan dan minuman. Tentunya keenam pemanis buatan ini juga sudah mengantongi izin dari Badan POM sebagai pengawas produk pangan untuk digunakan di Indonesia.

 

Namun, perlu diingat bahwa penggunaan masing-masing pemanis buatan tersebut harus sesuai dengan batas maksimal yang ditetapkan oleh Badan POM. Untuk produk pangan yang sudah memiliki izin edar resmi dari Badan POM, tentunya sudah dipastikan mengandung pemanis buatan dalam jumlah yang aman.

 

Namun meskipun pemanis buatan ini tanpa kalori, sebaiknya penggunaannya pun dilakukan secara tidak berlebihan ya, Gengs! Kebutuhan nutrisi seimbang tetap harus terpenuhi, misalnya dengan konsumsi buah-buahan yang rasanya manis. Salam sehat! (AS)

 

Referensi

Chattopadhyay, S., Raychaudhuri, U. and Chakraborty, R. (2011). Artificial sweeteners – a review. Journal of Food Science and Technology, 51(4), pp.611-621.

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan