Pantesan suami nggak keurus; habis pulang kantor, kerjaannya ngopi dan ngafe melulu. Mau kurus tapi hobinya ngemil pizza. Nggak heran gagal terus. Cuma jemput anak ke sekolah, perlu ya pake makeup setebal itu? Secara sadar maupun tidak, terucap maupun hanya di dalam hati, kita selalu men-judge. Oh, tentu saja paling sering di dalam hati, karena itu cara teraman bagi kita melampiaskan dorongan untuk menghakimi tanpa jadi dihakimi—dan, ehem, imej baik diri pun bisa tetap terjaga ketimbang kita koar-koar melontarkan hal negatif tentang orang lain. Pada kenyataannya, sikap judgemental nggak hanya dilancarkan kepada teman saja, tapi juga orang lain yang bahkan tidak kita kenal. Entah itu sedang bersama-sama menunggu bus di halte atau berdiri di sebelah kita saat berada dalam satu lift. Intinya, hanya dengan satu lirikan mata, sebuah judgement terbentuk di kepala—kita telah bersikap judgemental terhadap orang tersebut. Saya sering kali menghela napas sambil menutup mata rapat-rapat selama tiga detik kalau sudah begini, berharap mengenyahkan judgement kerap muncul secara spontan itu. Lantas, apakah hanya dengan berhadap-hadapan saja sikap judgemental dapat terbentuk? Ternyata tidak. Bahkan,  hal ini dengan mudah kita temui di internet, terutama pada media sosial. Banyak sekali status dan komentar-komentarnya yang terang-terangan men-judge, yang menghakimi secara sepihak, bahkan sadis. Tiap kali buka Facebook dan Twitter, rasanya gerah. Ada saja post yang bernada judgemental, yang lama-lama berubah jadi perang kata dan makian. Saking seringnya bersikap judgemental, saya jadi berpikir, apa sih yang membuat kita begini? Setelah mencoba lebih terbuka kepada diri dan merenungkan ini dengan jernih, saya pun mendapatkan jawaban krusial. Kita men-judge sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap sesuatu, bukannya menerima keadaan tersebut as it is. Ini bisa terlihat dalam ucapan: “Habis pulang kantor malah ngopi-ngopi melulu. Pantesan suaminya nggak keurus dan jadi cerai”. Pada kasus ini, kita menyimpulkan bahwa sikap yang benar adalah jika si teman langsung pulang ke rumah usai jam kantor dan dengan ia tidak langsung pulang, maka suaminya jadi tidak terurus dengan baik. Padahal, belum tentu semua itu benar. Judgement akan menjadi kian nyata di pikiran kita dengan dialiri hawa nafsu dan emosi negatif. Yep, sometimes it’s hard to believe that our minds can think and judge that far. Memelihara sikap judgemental  bikin hidup frustrasi, dan tentunya jauh dari nyaman. Percaya deh, saat kita mampu melihat sesuatu apa adanya tanpa ditunggangi emosi negatif, perasaan jadi lebih ringan dan tak terbebani. Sebelum sikap ini jadi kebiasaan yang melekat di diri kita, yuk hindari sikap judgemental dengan empat langkah ini:

1. Lebih cintai diri

Kedengarannya sederhana, bahkan remeh. Banyak juga yang merasa sudah melakukan ini. Padahal, dengan masih sering membandingkan diri dengan orang lain, menuntut dan men-judge diri, itu merupakan cerminan betapa kita gemar menekan diri kita sendiri. Saat kita sering menekan diri, kita pun melakukan hal yang sama kepada orang lain. Semakin kita bersikap judgemental ke dalam, bukannya berdialog, maka kita juga akan begitu ke luar. Jadi, pertama-tama, mulai dengan lebih mencintai dan menghargai sosok kita sendiri.

2. Hidup sadar (mindful)

Begitu judgement terhadap seseorang terformulasi di kepala, hentikan proses itu. Apabila ini sulit dilakukan karena kita sendiri sulit untuk fokus (dalam bersikap tidak judgemental), alihkan pikiran kita ke hal lain, ke topik yang menyenangkan. Proses untuk be more mindful ini membuat saya mampu memegang kendali pikiran saya dengan lebih baik lagi; saya jadi fokus terhadap apa yang terjadi di sekitar saya, termasuk kondisi orang-orangnya, sehingga tidak seenaknya  men-judge,Ibunya Aksan cerewet banget. Pantas Aksan gerah pas dikasih tahu ini-itu di depan teman-temannya” pada ibu dari teman anak saya yang sejak tadi tidak berhenti berbicara.

3. Berusaha memahami kondisi orang lain

Saat kita bersikap judgmental kepada orang lain, biasanya kita hanya melihat satu sisi—sisi yang hanya ingin kita lihat—dari orang tersebut. Kita tutup mata terhadap alasan, kondisi, dan latar belakang orang tersebut yang mendasari perbuatannya. Misalnya saja, saat teman kita mengeluh dirinya susah kurus tapi suka mengunyah pizza di sela-sela waktu lembur, mungkin akan mudah bagi kita untuk men-judge teman tersebut sebagai orang yang omong doang. Padahal, kebiasaan tersebut ternyata dilatarbelakangi sifat mudah senewen yang pelariannya sudah jelas cuma satu: makanan. Betapa sulit baginya mengendalikan sifat emotional eating tersebut, padahal ia sendiri tidak ingin seperti itu. Saat kita mencoba melihat dari sudut pandangnya, kita akan bisa lebih memahami orang tersebut dan berpikir dua kali untuk bersikap judgemental.

4. Menerima bahwa tiap orang berbeda

Setelah kita mampu melakukan tiga hal di atas, berarti pikiran kita sudah terbuka dan mampu menerima kenyataan bahwa tiap orang berbeda dan memiliki keunikan karakter, cara pandang, serta kisah hidup masing-masing. Dengan menerima kondisi tersebut, kita tidak akan merasa terganggu dan tergelitik untuk men-judge saat berpapasan dengan teman yang sedang menjemput anaknya di sekolah dengan gaya “wah”—cocktail dress dan makeup tebal—sedangkan kita hanya memakai jeans dan kaos. Dengan cepat pikiran kita akan menyediakan jawaban, mungkin ada acara formal yang harus dihadirinya setelah ini. Saya jadi teringat salah satu perdebatan—contsructive argument—dengan suami saat melakukan sesuatu yang tidak tepat, tidak fair, dan ia mengingatkan dengan perkataan ini: “If it was the right thing to do, you would feel better right now.” Dan pada kenyataannya, saya memang nggak pernah merasa lebih enak setelah men-judge seseorang.