Gangguan tiroid termasuk penyakit yang masih asing di telinga masyarakat Indonesia pada umumnya. Padahal, menurut data Kementerian Kesehatan, gangguan tiroid menempati urutan kedua terbanyak dalam penyakit metabolik setelah diabetes melitus.

 

Menurut dr. Rochsismandoko, Sp.PD-KEMD, FACE., pada kebanyakan kasus, benjolan atau tumor jinak tiroid ditemukan secara tidak sengaja oleh dokter. Dokter bisa mendeteksi tumor jinak tersebut hanya dengan meraba leher pasien atau lewat pemeriksaan USG.

 

"Kalau sudah disebut benjolan, pasti kebanyakan orang sudah pada takut duluan," sebut dr. Rochsismandoko. Pertanyaan yang paling sering ditanyakan pasien adalah apakah tumornya ganas harus dioperasi. Bahkan, masih banyak orang Indonesia yang sengaja tidak mau memeriksakan diri ke dokter karena takut dioperasi, padahal benjolannya sudah besar.

 

Kesadaran masyarakat tentang pengobatan gangguan tiroid memang masih kurang. Dahulu, satu-satunya cara untuk menghilangkan tumor jinak tiroid memang lewat prosedur operasi. Namun, sekarang sudah ada teknologi minimal invasif yang ampuh untuk menghilangkan tumornya, sehingga pasien tidak perlu dioperasi lagi. Prosedur minimal invasif ini disebut percutaneous ethanol injection (PEI) atau radiofrekuensi ablasi (RFA). Untuk tahu lebih banyak seputar tekonologi minimal invasif RFA, berikut penjelasan lengkap dari dr. Rochsismandoko!

 

Baca juga: 8 Gejala yang Menandakan Kamu Mengalami Masalah Tiroid
 

Sedikit Mengenai Gangguan Tiroid

Gangguan tiroid adalah kondisi ketika kelenjar tiroid mengalami malfungsi. Kelainan tiroid ada tiga, yaitu kelainan bentuk berupa benjolan, kelainan fungsi berupa hipotiroid dan hipertiroid, dan yang ketiga kombinasi keduanya.

 

"Kalau fungsinya masih normal tidak ada gejala. Kalau hipotiroid itu hormonnya kurang, artinya orang jadi mengantuk, lemas, dan berat badan meningkat. Kalau hipertiroid itu hormonnya berlebihan, biasanya orangnya kurus, sensitif, gampang tersinggung, dan depresi," jelas dr. Rochsismandoko dalam acara diskusi media bertema “Pengobatan Minimal Invasif untuk Pembesaran Tiroid Jinak dengan Radio Frekuensi Ablasi (RFA) di RS Awal Bros”.

 

Benjolan yang diakibatkan oleh penyakit tiroid itu umumnya tidak menimbulkan rasa sakit. Namun kalau sudah meradang, baru akan menimbulkan nyeri. Selain itu, benjolannya juga bisa menjadi semakin membesar, sehingga terasa mengganjal dan mengganggu pernapasan.

 

Bagaimana Cara Mengenali Benjolan Tiroid? 

Menurut dr. Rochsismandoko, hal tersebut tidak bisa dipastikan ataupun diperiksa sendiri. Untuk memastikannya, harus diperiksa oleh dokter. Pasalnya, ada banyak gangguan kelenjar di leher yang bisa menyebabkan benjolan, termasuk kelenjar getah bening dan kelenjar liur.

 

Namun, dr. Rochsismandoko mengatakan bahwa biasanya ciri khasnya adalah ketika pasien disuruh menelan, benjolan akibat kelainan tiroid akan ikut bergerak juga. Kalau benjolan akibat hal lain biasanya tetap dan tidak akan bergerak.

 

Kenapa Lebih Banyak Menyerang Wanita?

Menurut dr. Rochsismandoko, perbandingan kasus penyakit tiroid pada wanita dengan laki-laki adalah 14:1. Penyebab kenapa gangguan tiroid paling banyak menyerang wanita adalah karena hormon wanita lebih kompleks. Tiroid termasuk salah satu master of glands (kelenjar utama) hormon reproduksi. Oleh sebab itu, kalau tiroid terganggu, maka reproduksi juga akan terganggu.

 

"Kalau terkena hipotiroid, maka ada risiko anak yang dilahirkan akan mengalami gangguan mental dan pertumbuhannya kecil atau kurus. Jadi, saya anjurkan agar wanita yang berencana mau hamil periksa tiroid dulu," jelad dr. Rochsismandoko.

 

Teknologi Pengobatan Minimal Invasif RFA

Salah satu penyebab enggannya pasien gangguan tiroid memeriksakan kondisinya ke rumah sakit adalah karena takut dioperasi. Pasalnya, stigma operasi pada masyarakat itu menakutkan. Apalagi prosedurnya dilakukan di tenggorokan, maka ditakutkan suara akan hilang. Selain itu, salah satu permasalahannya adalah bekas luka operasi yang mengganggu penampilan. Pasalnya, gangguan tiroid lebih banyak menyerang wanita, yang umumnya sangat peduli dengan penampilan. 

 

"Memang benar, tidak jarang terjadi kasus suara hilang akibat operasi. Mengganggu penampilan juga iya, karena bekas sayatan operasi. Namun, prosedur minimal invasif ini bisa mencegah kedua hal tersebut," jelas dr. Rochsismandoko. Namanya saja sudah minimal invasif, itu artinya prosedur ini benar-benar tanpa sayatan.

 

 

 
Baca juga: Mengenal Bahaya Penyakit Gondok
 

Tahap Prosedur RFA

Persiapan awal: Pertama-tama, pasien harus siap mental dulu. Meski terlihat sederhana, tetapi di dalam tenggorokan ada banyak sekali pembuluh darah yang berisiko tersenggol saat prosedur dilakukan. Namun karena prosedur ini menggunakan alat-alat yang canggih, seperti monitor yang bisa membantu menuntun dokter, maka pasien tidak perlu khawatir.

 

Pemeriksaan awal: Prosedur ini tidak memiliki banyak persayaratan. Hanya saja, pasien harus melakukan pemeriksaan darah karena tidak boleh mengalami hipertensi. Selain itu, gula darah juga harus stabil. Untuk pasien wanita, dianjurkan sedang tidak menstruasi. Pasien juga diharuskan berpuasa selama 4 jam sebelum tindakan dilakukan.

 

Tindakan RFA: Tindakan ini dilakukan dengan anestesi lokal, sehingga pasien sadar selama prosedur dilakukan. Dokter akan menyuntik tenggorokan pasien. Suntikan tersebut akan menghancurkan nodul atau benjolan tiroid dengan cara dibakar. Suhu yang digunakan biasanya ditentukan dokter.

 

Prosedur ini umumnya hanya berlangsung selama 30 menit. Benjolan yang dihancurkan tidak semuanya. Yang diutamakan adalah bagian yang pembuluh darahnya banyak. Pasalnya, pembuluh darah tersebut adalah sumber nutrisi dari nodulnya. Kalau sumber nutrisinya dihentikan, maka nodul tidak akan mendapat makanan, sehingga lama-kelamaan akan mati.

 

Prosedur minimal invasif RFA ini memiliki keutungan yang lebih banyak ketimbang operasi. Dari segi biaya, RFA lebih murah. Pasien tidak akan memiliki bekas luka sayatan operasi dan hanya perlu menginap semalam saja di rumah sakit untuk observasi.

 

Tindakan ini umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, baik saat prosedur dilakukan ataupun setelahnya. Namun tetap ada risiko, seperti bengkak dan perdarahan ringan. Kalau pasien merasa nyeri, dokter akan memberikan obat pereda nyeri. Setelah tindakan, pasien juga tidak perlu mengonsumsi obat apapun.

 

"Angka keberhasilan dari prosedur ini adalah 47-96%. Tidak bisa langsung kelihatan. Berhasil atau tidaknya dilihat setelah 6 bulan," jelas dr. Rochsismando. Jadi, pasien harus kontrol ke dokter setiap bulan. Biasanya saat setiap kontrol, dokter akan melakukan skrining untuk melihat apakah ada pembuluh darah yang masih hidup. Kalau masih ada, biasanya akan dilakukan tindakan RFA kedua.

 

Baca juga: Hati-hati, Gangguan Tiroid Dapat Menyebabkan Gangguan Jiwa
 

Prosedur RFA bisa menjadi solusi pengobatan gangguan tiroid. Jadi kalau Kamu memiliki gejala gangguan tiroid ataupun sudah didiagnosis, tidak perlu khawatir akan dioperasi. Sayangnya, prosedur RFA belum tersedia di kebanyakan rumah sakit di Indonesia. Sejauh ini, prosedur ini baru tersedia di Rumah Sakit Banda Aceh, Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo Magelang, dan Rumah Sakit Awal Bros Tangerang. (UH/AS)