Saat berada di pusat perbelanjaan, mini market, atau warung terdekat untuk membeli makanan dan minuman kemasan, apa sih yang ada dalam benak Geng Sehat? Sekadar mengambil makanan atau minuman yang ingin dikonsumsi?

 

Hal tersebut mungkin lazim dilakukan saat belum banyak informasi seperti saat ini. Sekarang dengan semakin meleknya masyarakat akan informasi seputar beraneka ragam kasus makanan olahan, membaca label pada kemasannya pun menjadi begitu penting.

 

Sebagian awareness untuk membaca label kemasan sebenarnya juga muncul dari banyaknya hoaks alias berita bohong yang beredar mengenai makanan olahan. Misalnya, tentu kita ingat hoaks yang sering sekali beredar bahwa ada kode huruf dan angka dalam komposisi makanan maupun minuman yang berkorelasi dengan babi. Padahal, hal tersebut sama sekali tidak benar!

 
Baca juga: Ricuh Isu Air Mineral Kemasan Mengandung Mikroplastik, Ini Tanggapan dari BPOM RI!

 

 

Walhasil, orang-orang yang termakan hoaks terbagi menjadi 2 bagian, tidak beli sama sekali atau membeli tetapi jadi lebih perhatian dengan isi label kemasan makanan. Hmm, kalau lagi begini, hoaks ternyata bisa berguna juga, ya?

 

Dilansir dari situs resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia, sepanjang tahun 2017 hingga awal tahun 2018, BPOM RI bersama-sama dengan kepolisian berhasil menemukan dan menyita berbagai jenis produk makanan yang diganti label tanggal kedaluwarsanya dengan tanggal kedaluwarsa yang baru. Ini jelas-jelas dapat merugikan konsumen.

 

Pada pertengahan tahun 2016, linimasa media-media sosial juga pernah begitu ramai dengan pemberitaan, komentar, maupun postingan tentang sebuah produk makanan ringan industri rumah tangga yang bernama Bikini alias Bihun Kekinian.

 

Kemasan produk yang menjurus ke arah pornografi ditambah tagline 'remas aku' menjadi perkaranya. Penggantian tanggal kedaluwarsa hingga kemasan produk yang tidak sesuai ketentuan merupakan jenis-jenis pelanggaran yang sering ditemukan BPOM di lapangan, selain tentu saja kasus peredaran makanan ilegal.

 

Padahal, pemberian label pangan olahan pada prinsipnya bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat, sebelum kemudian kita membeli ataupun mengonsumsi pangan olahan tersebut.

 
Baca juga: Kenali Kemasan Plastik Pembungkus Makanan Kamu, Yuk!

 

Peraturan Terkait Label Makanan Olahan

Karena informasi di label makanan olahan sangat penting bagi keamanan konsumen, maka tentu saja hal ini diatur dalam peraturan dan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Menurut Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018, label pangan olahan setidak-tidaknya memuat informasi tentang nama produk, daftar bahan yang digunakan (komposisi), berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat produsen/importir, kehalalan bagi yang dipersyaratkan, tanggal dan kode produksi, keterangan kedaluwarsa, nomor izin edar, serta asal-usul bahan pangan tertentu.

 

Salah satu yang sering dilihat adalah komposisi alias bahan yang digunakan. Perlu diketahui bahwa urutan penulisan komposisi juga diatur berurutan, dimulai dari bahan yang paling banyak digunakan. Maka jangan heran kalau minuman teh dalam botol itu komponen terbesarnya bukan teh, melainkan air. Kan memang lebih banyak.

 

Sebelumnya, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa keterangan dan/atau pernyataan tentang pangan dalam label harus benar dan tidak menyesatkan, baik mengenai tulisan, gambar, atau bentuk apapun lainnya, yang kemudian ditambahkan regulasi berupa Peraturan BPOM nomor 31 Tahun 2018.

 

Masih di aturan yang sama, disebutkan pula soal ketentuan peringatan khusus, seperti peringatan terkait pemanis buatan serta keterangan tentang pangan olahan yang proses pembuatannya bersinggungan dengan babi. Peringatan lain dimuat pada produk yang bersinggungan dengan altergen, minuman beralkohol, maupun pada produk susu.

 
Baca juga: Ketahui Arti Tulisan pada Kemasan Obat Berikut!

 

Bahkan, diatur pula keterangan untuk label yang ukurannya kurang dari atau sama dengan 10 centimeter persegi, seperti permen. Untuk produk jenis ini, huruf dan angka wajib dicantumkan pula dengan ukuran paling kecil 0,75 mm! Makanya kecil banget, ya!

 

Ketentuan juga mengatur bahwa tiap orang yang memproduksi pangan olahan di dalam negeri untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, wajib mencantumkan label. Diatur pula bahwa setiap orang yang mengimpor pangan olahan untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, juga wajib mencantumkan label pada saat memasuki wilayah NKRI. Adapun kemasan eceran tersebut merupakan kemasan akhir pangan, yang tidak boleh dikemas kembali dalam kemasan yang lebih kecil.

 

BPOM juga telah menetapkan bahwa pangan olahan yang mengandung bahan dari babi wajib untuk menyampaikan tanda khusus berupa tulisan "Mengandung Babi" disertai gambar babi. Tetap di aturan yang sama, jika prosesnya bersinggungan dengan babi, maka ada kewajiban untuk menambahkan tulisan "Pada proses pembuatannya bersinggungan dan/atau menggunakan fasilitas bersama dengan bahan bersumber babi".

 

 

Belum Semuanya Patuh

Label pangan amat penting sebab merupakan satu-satunya wadah komunikasi antara produsen dengan konsumsen terkait kandungan produk. Karena berperan sebagai sarana informasi dan edukasi masyarakat, maka label pangan wajib benar dan tidak boleh menyesatkan.

 

Sayangnya, belum semua produsen makanan olahan patuh dengan peraturan-peraturan tersebut. Hasil pengawasan rutin BPOM terhadap label produk pangan yang beredar di Indonesia pada tahun 2015 menemukan, 21,24% dari 8.082 label yang diawasi tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

 

Setahun kemudian, angka ini menurun menjadi 13,60% dari total 7.036 label yang diawasi. Kemudian pada tahun 2017, temuan kembali meningkat menjadi 13,68% dari 8.603 label label yang diperiksa. Tentunya kita sebagai konsumen berharap bahwa praktik-praktik tidak benar seperti ini akan terus berkurang ya, Gengs!

 

Itu dia serba-serbi di balik label pada kemasan makanan olahan. Meskipun terlihat sepele, membaca label yang tertera pada kemasan makanan olahan itu penting! Karena label pangan olahan merupakan bentuk edukasi kepada pengguna. Saatnya kita sebagai konsumen juga belajar pintar dalam mengevaluasinya, tentunya demi keamanan kita sendiri!

 
Baca juga: Benarkah Makanan Organik Lebih Sehat dan Tidak Mengandung Pestisida?