Diabetes melitus tipe 1 maupun 2, adalah penyakit yang kerap dikaitkan dengan faktor genetik. Ketika seseorang terlahir dari salah satu atau kedua orang tua diabetes, dia pun berisiko lebih besar memiliki diabetes. Pengaruh gen ini diyakini lebih kuat untuk diabetes tipe 1 dibandingkan tipe 2. Diabetes tipe 2, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor gaya hidup. Benarkah?

 

Sebuah penelitian yang dilakukan dr. Valeriya Lyssenko dan dimuat dalam care.diabetesjournals.org, menyatakan bahwa diabetes tipe 2 merupakan kondisi yang sangat kompleks, menghasilkan interaksi multigenetik dan lingkungan. 

 

Beberapa faktor risiko diabetes tipe 2 yang sudah diketahui adalah usia, kegemukan atau obesitas, lemak perut (kegemukan sentral), kurang aktivitas fisik, merokok, diet rendah serat dan tinggi kalori, termasuk juga etnis, dan riwayat keluarga dengan diabetes. Jadi memang benar jika etnis dan gen ini berpengaruh menghadirkan diabetes. Sebagai negara yang memiliki 260 juta penduduk dan sekitar 10 juta di antaranya adalah penderita diabetes, kira-kira etnis mana yang paling berisiko di Indonesia? 

 

Baca juga: Diabetes Tipe 1 Sulit Terdiagnosis, Waspadai Gejalanya!

 

Tidak Ada Satupun Orang Indonesia Terbebas dari Gen Diabetes!

Penelitian Lyssenko menunjukkan bukti bahwa diabetes tipe 2 memiliki dasar genetik yang kuat. Menurutnya, peluang dua anak kembar memiliki diabetes mencapai 70% pada kembar monozigot. Sedangkan risiko anak kembar memiliki diabetes dua-duanya hanya 20-30% untuk kembar dua zigot. 

 

Risiko seseorang memiliki diabetes sepanjang usianya mencapai 40% jika salah satu orang tua penderita diabetes tipe 2. Risiko lebih besar jika riwayat diabetes diwariskan dari ibu. Jika kedua orang tua diabetes, risiko seseorang mengalami diabetes menjadi 70%. Keturunan langsung berisiko dua kali lipat lebih besar dibandingkan keturuan kedua, ketiga dan selanjutnya.

 

Hal ini senada dengan yang dipaparkan spesialis endokrinologi dan penyakit metabolik, dr. Dante Saksono, SpPD-KEMD, PhD dalam diskusi tentang diabetes yang diselenggarakan Novo Nordisk di Jakarta, 24 Oktober 2018. Anak yang memiliki orangtua diabetes pasti akan melewati fase prediabetes. Tinggal menjadi diabetes atau tidak tergantung pada gaya hidupnya.

 

“Untungnya diabetes itu multigenetik. Jadi untuk menjadi diabetes, gen yang membawa sifat diabetes harus berinteraksi dengan gen-gen tertentu. Kita menyebutnya spider web genetic engineering,” jelas Dante.  Menurut, dokter yang juga staf di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, jangan harap di Indonesia atau di Jakarta kasus diabetes akan turun, karena faktor pernikahan gen diabetes ini akan semakin merapatkan gen-gen diabetes.

 

Baca juga: Fenomena Gula Darah Melonjak di Pagi Hari, Apa Solusinya?

 

Gejala Diabetes yang Kerap Diabaikan - Guesehat

 

Faktor genetika diabetes ini menjadikan etnis tertentu memiliki risiko diabetes lebih tinggi dibandingkan etnis lainnya. Misalnya di Amerika, etnis Afro-Amerika atau Hispanik diketahui memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan ras Kaukasian. 

 

Kira-kira etnis mana yang berpeluang paling tinggi diabetes di Indonesia? Menurut Dante, hasil pemeriksaan di FKUI menunjukkan orang Manado paling dominan dalam hal memiliki risiko diabetes. Selain Manado, orang Ternate dan sekitarnya juga diketahui memiliki risiko tinggi. 

 

"Tetapi, tidak ada satupun orang Indonesia yang bebas gen diabetes!” tegas Dante. Menurutnya, semua orang Indonesia berisiko diabetes. Salah satu penyebabnya adalah semakin rapatnya gen diabetes karena pernikahan. Misalnya pria yang risiko diabetesnya lebih rendah karena hanya memiliki satu orang tua diabetes, menikah dengan wanita yang berisiko diabetes tinggi karena kedua orang tuanya diabetes, maka otomatis menghasilkan anak dengan risiko lebih besar memiliki diabetes.

 

Cegah Prediabetes Menjadi Diabetes

Karena faktor risiko genetik ini tidak bisa diubah, maka hal yang paling bisa dilakukan adalah mencegah orang dengan prediabetes menjadi diabetes dengan skrining diabetes dan mengelola faktor risiko yang bisa diubah.

 

Pertama, kelola berat badan. Menurut Dante, orang yang mengalami berat badan lebih bersiko tinggi diabetes karena mengalami resistensi insulin, di mana insulin kurang mampu bekerja memasukkan gula ke sel-sel tubuh.

 

Kedua, melakukan olahraga rutin. Olahraga akan membuat insulin bekerja lebih efektif. “Olahraga berbeda dengan aktivitas fisik biasa. Olahraga akan membuat detak jantung naik dalam batas tertentu secara kontinyu dalam rentang waktu tertentu, sehingga meningkatkan metabolisme tubuh, termasuk insulin bekerja lebih efektif.”

 

Ketiga, cek gula darah rutin setahun sekali, sedangkan bagi yang memiliki faktor risiko sebaiknya 6 bulan sekali. “Inilah tujuan skrining dini. Program Cities Changing Diabetes yang sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia antara lain menjaring para prediabetes, kemudian memberikan edukasi bagaimana agar tidak menjadi diabetes,” pungkas Dante. (AY)

 

Baca juga: Emmanuel Andhi : Diabetes Tetap Terkendali Karena Olahraga