Penyakit Tuberculosis (TBC) atau TB telah lama dikenal sebagai salah satu dari 10 penyakit penyebab kematian terbesar di Indonesia. Dilansir dari depkes.go.id, Menteri Kesehatan (Menkes) RI Nila Moeloek mengungkapkan, jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia merupakan tertinggi kedua di dunia, setelah India. Inilah satu dari skian banyak alasan mengapa pemerintah menjadikan penyakit AIDS, TBC, dan malaria sebagai program prioritas pembangunan kesehatan Indonesia. Lalu, bagaimana jika penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri Mycrobacterium tuberculosis ini, diidap oleh ibu hamil? Apakah ada penanganan yang berbeda dengan pasien TBC lainnya? Yuk, simak penjelasan selengkapnya.

Baca juga: TBC: Tak Hanya Bisa Menyerang Paru-paru

 

Pemeriksaan TB pada Ibu hamil

Saat  hamil, dokter  akan memberi  sejumlah tes rutin untuk memeriksa masalah kesehatan yang mungkin menimbulkan masalah bagi  ibu atau bayi. Salah satunya, adalah TB. Dokter spesialis paru akan melakukan pemeriksaan (screening) terhadap penyakit ini sejak awal kehamilan. Namun, mengingat bahaya risikonya pada ibu hamil dan janin, dokter mungkin akan membuat pengecualian terhadap pemeriksaan X-ray atau rontgen. Dilansir dari tuberculosis.autoimuncare.com, penanganan TB pada ibu hamil harus sangat diperhatikan, tidak hanya pada masa kehamilan tetapi  juga harus dilanjutkan pada periode menyusui. Jika tim medis tidak melakukakan perawatan tepat untuk penyakit menular yang menyerang paru-paru ini, dampaknya sangat berbahaya bagi ibu dan bayi, termasuk risiko kematian.

Baca juga: Ini yang Harus Dilakukan Kalau Kamu Sedang Batuk!

 

Kenali Tipe-tipe TB

Ada dua tipe TB, yaitu TB laten dan TB aktif. Pada kasus tuberculosis laten, seseorang bisa mengidap TB tanpa menyadarinya. Kondiisinya sangat berbeda dengan TB aktif. Saat mengidap tuberculosis aktif, pasien TB akan memiliki gejala batuk selama berminggu-minggu, penurunan berat badan, muntah darah, dan berkeringat di malam hari. Meskipun TB aktif membutuhkan penanganan yang lebih serius, tapi keduanya tidak dapat disepelekan. Baik TB aktif maupun TB laten dapat menyebabkan dampak yang fatal pada bayi. Bayi dari ibu yang mengidap TBC, dikhawatirkan bisa mengalami risiko berikut ini.

 

  • Bayi terlahir prematur.
  • Berat badan di bawah berat badan bayi normal yang terlahir dari ibu yang sehat.
  • Dalam kasus yang langka, bayi bisa terlahir dalam kondisi mengidap TBC.
  • Bayi terjangkit TBC setelah dilahirkan. Hal ini bisa terjadi jika ibu mengidap TBC aktif dan tidak mendapatkan perawatan yang intens.

 

 

Pengobatan TB selama kehamilan

Ibu hamil yang mengidap TB, mungkin khawatir akan keselamatan janinnya jika ia mengonsumsi obat. Padahal, kondisi akan jauh lebih buruk bagi ibu dan bayi jika membiarkan TB tidak diobati. Dilansir dari webmd.com, menurut riset dokter, belum ada bukti otentik yang menunjukkan dampak obat TB pada janin yang belum  lahir. Dokter pun tidak akan meresepkan obat yang berpotensi mengakibatkan cacat janin pada ibu hamil. Contohnya, dokter akan meresepkan obat tablet dengan dosis aman yang disesuaikan untuk ibu hamil, tetapi pemberian obat seperti streptomisin dalam bentuk suntikan, akan dihindari oleh dokter karena suntikan ini berisiko mengakibatkan cacat bawaan pada trimester 1.  Obat-obatan yang sering disebut sebagai standar obat lini pertama ini, juga akan disesuaikan dengan jenis TB yang diidap oleh ibu hamil.

 

Obat-obatan TBC yang dapat dikonsumsi oleh ibu hamil.

 

TB Laten. Jika  ibu hamil memiliki gejala TB laten, meskipun hasil tes tidak menunjukkan adanya penyakit ini, dokter mungkin akan tetap merekomendasikan obat yang disebut isoniazid.  Obat ini perlu dikonsumsi setiap hari selama 9 bulan, atau hanya dua kali seminggu selama masa kehamilan. Takaran dosisnya pasti diberikan oleh dokter sesuai kebutuhan.  Selain itu, ibu hamil juga diberikan suplemen vitamin B6 untuk dikonsumsi secara bersamaan.

 

TB Aktif. Ibu hamil yang mengidap TB aktif akan mendapatkan tiga jenis obat, yaitu: isoniazid, rifampisin, dan etambutol. Ibu hamil akan disarankan untuk mengonsumsi ketiga jenis obat ini setiap hari selama 2 bulan awal masa kehamilan. Selama 7 bulan dari sisa masa kehamilan, ibu hamil cukup mengonsumsi  isoniazid dan rifampisin saja. Kedua obat ini bisa dikonsumsi setiap hari atau dua kali seminggu, tergantung kebutuhan ibu.

 

Efek samping dari obat TB

Obat-obatan seperti rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol, sebagai standar obat-obatan lini pertama untuk pasien TB memiliki efek samping ringan, diantaranya:

  • Sakit Kepala.
  • Mual dan muntah.
  • Sakit perut.
  • Ganguan penglihatan.
  • Sakit kuning.
  • Tidak napsu makan.
  • Urin berwarna kemerahan.

Pastikan untuk menginfokan pada dokter jika Kamu mengalami efek samping obat ini, agar dokter lekas memberikan tindakan antisipasi.

 

Dampak tidak patuh minum obat TB

Jika obat TB tidak diminum rutin, seperti pesan dokter maka bisa mengakibatkan resistensi obat TB (Multiple Drug Resistance Tuberculosis / MDR-TB). Ini adalah kondisi serius dari TB, karena penderitanya akan beralih pada standar obat lini kedua yang lebih mahal dan efek samping lebih berat. Obat-obatan lini kedua ini dapat berdampak buruk pada kesehatan ibu dan janin. 

Baca juga: Kenali Gejala dan Penanganan TBC pada Anak

 

Amankah jika pasien TB ingin menyusui?

Penelitan menunjukkan, setelah bayi lahir, ibu tetap bisa memberikan ASI dengan aman, asalkan ibu telah melakukan rangakaian pengobatan sejak awal kehamilan. Ibu menyusui dianjurkan untuk terus mengonsumsi obat-obatan dan vitamin yang telah diresepkan sebelumnya. Risiko obat yang bisa tercampur dalam ASI jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan manfaat ASI terhadap kesehatan anak untuk jangka panjang. Pengaruh obat TBC sangat kecil dan cenderung tidak membahayakan bagi si Kecil. Ikuti saran dan aturan menyusui yang telah ditetapkan secara khusus oleh dokter agar Mums menyusui si Kecil tanpa was-was.

Kehamilan bukan alasan untuk menghentikan pengobatan TBC. Konsultasikan dengan dokter spesialis paru-paru untuk mendapatkan penanganan tepat. Pengobatan yang tepat, tidak hanya dapat menyelamatkan kondisi ibu dan bayi, melainkan juga dapat melindungi banyak orang dari risiko penularan TBC. (TA/AY)